Tak banyak yang tahu mengenai sang pujangga era pujangga baru ini, saya pun demikian. Hingga penugasan di Sumatera Utara ini, barulah saya tahu bahwa beliau merupakan salah satu tokoh penting di negeri ini. Tengku Amir Hamzah namanya. Bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Armin Pane, beliau dikenal sebagai sastrawan angkatan Pujangga Baru. Dan yang membuat saya mengangkat tokoh ini sebagai bahan pembicaraan di blog ini adalah karena beliau merupakan putra asli Tanjung Pura, sebuah kecamatan di Kabupaten Langkat yang berjarak tempuh sekitar 2 jam dari Medan.
Di depan kantor Bupati Langkat di Stabat, terdapat sebuah monumen untuk menghargai jasa-jasa beliau sebagai putra daerah dan juga pahlawan nasional ini. Monumen yang di puncaknya terdapat lambang negara ini, Garuda Pancasila, ini memiliki tinggi sekitar 10 meter. Di bagian bawah monumen, terdapat riwayat singkat beliau dan sebuah sajak karyanya yang berjudul "Berdiri Aku".
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai sang sastrawan, kita harus bergerak sekitar 20 kilometer ke arah timur dari Stabat di mana nanti kita akan berjumpa dengan sebuah kecamatan tempat sang sastrawan lahir dan dimakamkan, yakni Kecamatan Tanjung Pura. Cerita rakyat setempat yang dikisahkan turun-temurun tidak diketahui pasti di mana beliau dilahirkan, akan tetapi masyarakat setempat 'wajib' untuk tahu letak di mana beliau dimakamkan.
Kecamatan Tanjung Pura terkenal bukan karena sang sastrawan, namun karena sebuah masjid tua nan bersejarah yang berdiri dengan megah di sana, yakni Masjid Raya Azizi. Di komplek pemakaman yang terletak di sebelah kiri masjid, yang dibangun pada tahun 1902, inilah tubuh sang sastrawan bersemayam. Tengku Amir Hamzah tidak pernah mati di mata penduduk Tanjung Pura, karena cerita-cerita mengenai jasa-jasa beliau terus menerus diceritakan oleh masyarakat di sana dari generasi ke generasi.
Saya teringat dengan kata-kata yang diucapkan oleh Buliwyf di film 13th Warrior ketika dia tengah sekarat, "yang membuat seorang hebat bukanlah karena jasanya terhadap sesuatu, tetapi karena jasanya tersebut selalu dikenang dan dibicarakan oleh generasi-generasi setelah dia mati". Sama seperti apa yang ditulis oleh Tengku Amir Hamzah dan diabadikan di bagian bawah monumen untuknya di Stabat, sebuah karyanya berjudul Berdiri Aku:
berdiri aku di senja senyap
camar melayang menepis buih
melayah bakau mengurai puncak
berulang datang ubur terkembang
angin pulang menyejuk bumi
menepuk teluk mengempas emas
lari ke gunung memuncak sunyi
berayun alun di atas alas
benang raja mencelup ujung
naik merak menyarak carak
elang luka sayap tergulung
dimabuk warna berarak,arak
dalam rupa maha sempurna
rindu sendu mengharu kalbu
ingin datang merasa sentosa
mencecap hidup bertentu tujuPenulis di depan Masjid Raya Azizi
camar melayang menepis buih
melayah bakau mengurai puncak
berulang datang ubur terkembang
angin pulang menyejuk bumi
menepuk teluk mengempas emas
lari ke gunung memuncak sunyi
berayun alun di atas alas
benang raja mencelup ujung
naik merak menyarak carak
elang luka sayap tergulung
dimabuk warna berarak,arak
dalam rupa maha sempurna
rindu sendu mengharu kalbu
ingin datang merasa sentosa
mencecap hidup bertentu tujuPenulis di depan Masjid Raya Azizi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar