Minggu, 24 April 2011

Bumi dan Makhluk Hidupnya

Seperti yang kita ketahui bersama-sama, setiap tanggal 22 di bulan April kita merayakan apa yang disebut denga Hari Bumi se-Dunia. Namun tak banyak yang tahu makna dari hari yang seharusnya disakralkan oleh setiap orang ini mengingat di bumilah kita tinggal dan di bumi pulalah kita akan mati. Sayangnya seiring majunya teknologi, seiring banyaknya manusia yang terus berkembang, maka bumi kini seolah tak ada artinya lagi. Tak perlu mengutuk James Watt, yang membuat mesin uap dan melahirkan apa yang kita kenal dengan Revolusi Industri. Tidak perlu juga mengutuk para nenek moyang kita yang ekspansif dan gila akan luasnya daerah kekuasaan. Cobalah melihat kepada diri kita sendiri sebagai manusia yang turut mendiami bumi ini, hal-hal kecil yang kita lakukan mungkin sepele namun hal itu bisa menyelamatkan bumi dan isinya; seperti membuang sampah pad tempatnya.

 

Masalah paling besar yang dihadapi negeri ini tentulah pada masalah penduduknya, bayangkan saja berdasarkan sensu tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia berjumlah 238 juta jiwa, di mana 52% di antaranya tinggal di Pulau Jawa! Sampai sekarang pemerintah masih menggalakan program transmigrasi yang bertujuan agar meratakn pola persebaran penduduk di setiap pulaunya. Warga transmigran biasanya dijanjikan tanah luas di suatu daerah lengkap dengan bibit tanaman agar mereka bisa berusaha di tempat tinggal baru mereka. Namun tanah para transmigran itu berada di mana? Itulah pertanyaanya. Terkadang mereka ditaruh di dekat dengan kawasan hutan lindung atau taman nasional, sehingga mau tak mau pasti terdapat lahan hutan yang terambil dan berubah fungsinya menjadi kebun dan rumah.

 

Memang sudah naluri manusia yang tidak pernah puas akan apa yang telah didapat, masyarakat transmigran yang sudah sukses tentu tak puas dengan hasil ladang mereka yang hanya 'segitu aja'. Niatan untuk membuat ladangnya luas pun tercetus, namun mereka tak mau keluar modal banyak dengan membeli ladang milik tetangga mereka maka kawasan hutan pun dimasuki. Pohon mulai ditebangi, lahan dibakar demi sebuah kepuasan diri dan tanpa berpikir efek yang terjadi setelahnya. Sedangkan kaum transmigran baru tentu tidak mungkin hidup pada tahun-tahun pertamanya dari hasil kebun mereka mengingat kebun mereka belum menghasilkan apa-apa, mereka pun mencari tambahan yang nantinya malah justru jadi penghasilan utama, yakni berburu. Perlu saya tegaskan, perilaku seperti yang saya jelaskan tadi tidak hanya untuk para warga transmigra. Warga asli dan yang sudah lama mendiami kawsan tersebut pun berbuat hal yang sama.

 

Kebakaran hutan, tanah longsor, konflik desa mereka dengan binatang buas, dan berujung pada pemanasan global. Itu mungkin efek-efek mayor yang diteriakan para lembaga non-profit asing mengenai pola masyarakat transmigran ini , namun itulah faktanya. Selain itu, usaha-usaha tambang yang lalai melakukan reboisasi terhadapa lahan yang mereka garap juga turut membantu percepatan penyiksaan terhadap bumi in dan Indonesia khususnya. Kampanye menjadi paru-paru dunia dikatakan sebagai penghambat negara-negara berkembang untuk maju, alhasil makin banyak pohon yang tumbang dan hutan yang beralih fungsi. Semua ini ibarat lingkaran setan yang tak akan berhenti sampai semua mengerti efek dari apa yang mereka perbuat. Tidak perlu kita ikut-ikutan menanam pohon atas nama penghijauan apabila dalam keseharian kita masih membuang sampah sembarangan.

Ditemani roko dan kopi, saya sempat berbincang dengan salah seorang warga

Saya: "Apa ga takut pak ngebuka lahan hutan ini?"

Warga: "ngapain takut bang? ini hutan punya Tuhan!"

 

Jika semua warga trasmigran yang tinggal di pinggiran kawasan hutan bersifat seperti ini, maka silakan kita ucapkan selamat tinggal penghijauan dan selamat datang pemanasan global. Berikut saya lampirkan beberapa foto bagaimana masyarakat di salah satu Kabupaten di Sumatera Bagian Utara membuka lahan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan. (deha)

 

 

Tidak ada komentar: